Kaum Muslimin rahimakumullah, ketahuilah bahwa sesungguhnya rahmat Allah sangatlah luas. Allah Ta’ala berfirman:
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ
وَالَّذِيْنَ هُمْ بِآَيَاتِنَا يُؤْمِنُوْنَ (156)
“… dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raaf: 156).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جَعَلَ اللهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ،
فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ جُزْءًا وَأَنْزَلَ فِي الأَرْضِ جُزْءًا وَاحِدًا،
فَمِنْ ذَلِكَ الْجُزْءِ يَتَرَاحَمُ الْخَلْقُ
حَتَّى تَرْفَعَ الْفَرَسُ حَافِرَهَا عَنْ وَلَدِهَا خَشْيَةَ أَنْ تُصِيْبَهُ
“Allah menjadikan rahmat-Nya 100 bagian. Dia menahan 99 bagian di sisi-Nya dan menurunkan satu bagian di bumi. Dari satu bagian itulah semua makhluk saling berkasih sayang, sampai-sampai seekor kuda pun mengangkat kakinya karena takut akan menginjak anaknya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5654 dan Muslim, no. 2752)
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang wanita sedang mencari-cari anaknya. Ketika melihat anaknya, ia langsung menggendong dan menyusuinya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat:
أَتَرَوْنَ هَذِهِ الْمَرْأةَ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟
قُلْنَا: لاَ، وَاللهِ. فَقَالَ: اَللهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا.
“Apakah kalian berpendapat bahwa ibu ini tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami (para sahabat) menjawab, “Demi Allah, tidak.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Ketahuilah), Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya melebihi sayangnya wanita ini kepada anaknya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5653 dan Muslim, no. 2754)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَالَ: وَعِزَّتِكَ يَا رَبِّ،
لاَ أَبْرَحُ أُغْوِيْ عِبَادَكَ مَا دَامَتْ أَرْوَاحُهُمْ فِيْ أَجْسَادِهِمْ،
فَقَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: وَعِزَّتِي وَجَلالِي، لاَ أَزَالُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي
“Sesungguhnya syaithon berkata, “Demi kemuliaan-Mu wahai Rabbku, aku akan senantiasa menyesatkan hamba-Mu selama ruh mereka masih berada dalam jasad-jasad mereka (yakni selama masih hidup). Allah ‘Azza wa Jalla membalas: “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku akan senantiasa memberi ampunan kepada mereka selama mereka meminta ampun kepada-Ku.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/29; Abu Ya’la, 2/530; al-Hakim, no. 7672; dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, no. 8788. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 1650)
Al-Munawi rahimahullah mengatakan, “Ini janji Allah untuk memberi ampunan.” (Faidhul Qadir, 2/473)
Para Salafush Sholih Takut Amalnya Tidak Allah Terima
Pembaca yang dirahmati Allah Ta’ala, luasnya rahmat dan ampunan Allah janganlah menjadikan kita merasa aman dari siksa dan adzab-Nya. Janganlah kita merasa bahwa segala amalan yang kita kerjakan pasti diterima oleh-Nya. Siapakah yang dapat menjamin itu semua?
Para pendahulu kita yang shalih, yaitu para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dengan segala kebaikan yang mereka miliki, mulai dari ibadah, amal kebajikan, zuhudnya, dan mereka tahu bahwa Allah Maha Luas ampunan dan Rahmat-Nya, namun mereka masih dihinggapi rasa takut akan tertolaknya amalan yang mereka kerjakan. Lihatlah gambaran Al-Qur’an tentang mereka:
وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَا آَتَوْا وَقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُوْنَ (60)
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Mu’minun: 60)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat tersebut. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيْقِ،
وَلَكِنَّهُمُ الَّذِيْنَ يَصُوْمُوْنَ وَيُصَلُّوْنَ وَيَتَصَدَّقُوْنَ وَهُمْ يَخَافُوْنَ أَنْ لاَ يُقْبَلَ مِنْهُمْ
أُولَئِكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ.
“Tidak wahai puteri ash-Shiddiq, tapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, melaksanakan shalat, bershadaqah, sedangkan mereka merasa khawatir amalan-amalan itu tidak diterima. Mereka itu adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 3175 dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohiih Sunan at-Tirmidzi, no. 2537)
Mereka adalah orang yang bersegera dalam kebaikan dan melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya. Meskipun demikian, mereka senantiasa merasa takut amalan mereka tidak diterima. Allah menyanjung mereka dengan sebaik-baik sanjungan dan mensifati mereka dengan sifat yang paling baik.
Rahasianya, mereka bukanlah khawatir karena Allah tidak akan memberikan pahala kepada mereka. Sekali-kali tidak demikian, karena Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya. Akan tetapi mereka merasa takut belum melaksanakan amalan-amalan itu sesuai dengan syarat-syarat ibadah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Mereka tidak bisa memastikan bahwa mereka telah melaksanakannya sesuai dengan yang Allah inginkan.
Para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merasa khawatir amalan mereka batal tanpa disadari. Ini merupakan tanda kesempurnaan iman. Sebab Allah Ta’ala berfirman:
فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُوْنَ (99)
“… Tidaklah yang merasa aman dari adzab Allah, kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf: 99)
Sangatlah banyak kisah-kisah shohih yang menceritakan keikhlasan dan rasa takut mereka kepada Allah Ta’ala.
Permisalan Tentang Amalan Manusia
Allah Ta’ala memberikan permisalan tentang amalan manusia dengan firman-Nya:
أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُوْنَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيْلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ
لَهُ فِيْهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ
فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيْهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ الآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ (266)
“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. Al-Baqarah: 266).
Ketika menjelaskan ayat di atas, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memberikan permisalan tentang seorang kaya yang beramal dengan ketaatan kepada Allah, kemudian Allah mengutus syaithon kepadanya sehingga orang itu berbuat banyak maksiat sehingga semua amalnya terhapus. (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4538. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/280).
Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita tentang orang yang pada permulaan hidupnya banyak beramal kebaikan, lalu setelah itu jalan hidupnya berbalik. Dia mengganti kebaikan dengan kejahatan- semoga Allah melindungi kita semua dari hal itu- sehingga amal kebaikannya di permulaan menjadi terhapus. Amat menyesal sekali manusia seperti ini.
Di saat-saat tua dimana ia sangat membutuhkan sesuatu namun seluruh modalnya menjadi lenyap dan tiada lagi bermanfaat. Adakah keadaan yang lebih parah dari pada ini?
Di akhir ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ الآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ (266)
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. Al-Baqarah: 266). Dikarenakan tidaklah kita dapat memahami perumpamaan yang Allah buat dalam Al-Qur’an melainkan dengan cara memikirkan makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ الأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُوْنَ (43)
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabuut: 43).
Sumber : Buletin at-Taubah edisi ke-68